Kinerja Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) mengecewakan keluarga korban Winda Cristina Pakpahan (21) Mahasiswi Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta.
Yang mengalami kematiaan secara tidak wajar sehingga menyeret 2 pelaku yang dijadikan tersangka yang saat ini duduk dikursi pesakitan PN Sampit sebagai terdakwa kasus kematian Winda Cristina Pakpahan tersebut.
Erwin Pakpahan orang tua dari korban Winda Cristina Pakpahan, kecewa terhadap kinerja JPU Kejaksaan Negeri Kotim, lantaran tuntutan Jaksa terhadap 2 orang terdakwa tersebut dinilai terlalu rendah, sangat jauh dari rasa keadilan.
Fakta dipersidangan pada Senin 10 Juni 2024, JPU menuntut terdakwa Rizki Ayala hanya 3 (tiga) tahun penjara dan terdakwa Agustinus hanya 4 (empat) tahun penjara saja. Bagaimana mungkin Hakim bisa memvonis kedua terdakwa tersebut lebih tinggi dari tuntutan jaksa.
Sehingga wajar ia berpendapat tuntutan jaksa ini sangat jauh dari rasa keadilan dan sangat mustahil tuntutan serendah itu bisa membuat para pelaku menjadi jera, untuk menghilangkan nyawa seseorang.
Ia berharap kepada Hakim yang memvonis kedua terdakwa itu nantinya mengandung rasa keadilan jauh diatas tuntutan jaksa yang dinilai kurang menyentuh rasa keadilan, wajar juga ia mempertanyakan kinerja jaksa tersebut, “Ada apa dengan JPU ini”.
“Kami sangat kecewa! Ini tidak adil, anak kami ini korban dari terdakwa dan tidak sesuai dengan Pasal 204 Ayat (2) KUHP yang ancamannya 20 tahun atau seumur hidup,” ungkap Erwin dengan kesal, Selasa 11 Juni 2024.
“ Masa terdakwa hanya dituntut rendah, kami orang tua korban sangat merasa kehilangan anak. Ini Jaksa yang kami harapkan menjadi pembela kami untuk menuntut keadilan dan kemanusian malah tidak kami dapatkan, lanataran tidak memberikan tuntutan yang membuat efek jera kepada terdakwa,” tukasnya.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 204 mengatur tentang tindak pidana yang dianggap membahayakan nyawa dan kesehatan orang serta konsekuensi hukumnya yang berbunyi sebagai berikut:
Ayat (2) Kalau ada orang mati lantaran perbuatan itu sitersalah dihukum penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.
Sementara tuntutan JPU jauh dari yang mereka kira, sehingga semakin menyakiti perasaan orang tua dan keluarga pihak korban.
Pihak korban juga kecewa lantaran saat pembacaan tuntutan itu mereka tidak diberitahukan terlebih dahulu, ketika masuk ruang persidangan sudah ketuk palu usai membacakan tuntutan.
“Waktu pembacaan tuntutan kita tidak diinformasikan, kami pihak korban sangat kecewa seakan-akan ditutupi, biasanya sebelum mulai sidang akan dipanggil, namun kali ini tidak ada panggilan, ketika masuk sudah selesai pembacaannya,” ungkapnya.
“Jika hanya tiga tahun bagaimana menuntut efek jera, proses kasus ini hingga sidang saja sudah setengah tahun, maka disaat ini 2,5 tahun, ditambah ada remisi segala macam, belum lagi putusan hakim jika di bawah itu bagaimana,” ungkapnya.
Ia menyampaikan mereka hanya mencari keadilan, Dia berharap semoga hakim bisa transparan dan akuntabel dalam mengambil keputusan seadil-adilnya pada sidang putusan oleh majelis hakim nantinya.
“Anak kami adalah mahasiswa berprestasi dari Kotim, yang pernah diundang ke Istana untuk menyanyi ssbagai wakil Kotim/Kalteng di sana,” jelasnya.
Ia juga mempertanyakan alasan bisa tuntutan hanya tiga tahun, pihak jaksa menyampaikan karena si korban sudah dewasa dan bisa berfikir, seharusnya bisa memahami risiko yang dilakukannya.
“Jadi ini seakan-akan saya yang salah, di framing sebagai peminum, padahal di BAP banyak info yang bisa digali, tidak hanya fokus pada anak saya saja yang menjadi korban di sini,” tegasnya.
Jaksa hanya terus menggali dari sisi korban, namun bukan dari sisi terdakwa yang digali. Padahal seharusnya terdakwa Rizki sejak awal tidak berkata jujur yang ditutup-tutupi bahkan bekas minuman oplosan juga dibuang.
Dan saat mengantarkan korban ke rumah tidak memberitahukan dengan jujur kepada keluarga atau orang tua korban, atau memgambil tindakan pertolongan pertama atau membawa kerumah sakit,” tidak pernah dilakukan sama sekali oleh terdakwa Rizki,” terangnya.
Seharusnya Rizki kata ayah korban, dia berkata jujur bahwa mereka meminum miras racikan sehingga kami sebagai orang tua dapat mengambil tindakan membawa korban ke Rumah Sakit.
“ Namun malah berbohong dengan mengatakan korban meminum wine yang dibeli di mal,” ungkapnya.
Diketahui sebelumnya korban merupakan mahasiswi kedokteran tersebut yang saat itu kebetulan sedang libur dari kuliahnya dan pulang ke rumahnya di Kecamatan Baamang, Sampit.
Winda dinyatakan meninggal dunia oleh dokter di IGD RSUD dr Murjani Sampit setelah menjalani perawatan medis kurang lebih empat jam, namun nyawanya tak tertolong.
Peran Rizki dan Agustinus adalah memberi minuman dengan racikan otodidak yang dilakukan keduanya kepada korban sehingga zat kimia yang tercampur di dalam minuman keras membuat nyawa korban melayang.
Kedua terdakwa telah ditetapkan tersangka oleh Polisi pada Sabtu 23 Desember 2023 lalu usai dijemput oleh Polisi di Surabaya kedua disangkakan dan diancam dengan Pasal 204 Ayat (2) KUHP yang ancamannya 20 tahun atau seumur hidup, demikian (to)