JAKARTA – Pada saat Haris Azhar membacakan pledoinya atau pembelaan dirinya bikin merinding bagi kita yang mendengarkannya.
Haris Azhar merupakan seorang Pendiri Lokataru sekaligus aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Ia menilai dirinya saat ini tidak sedang melawan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang pencemaran nama baik, melainkan melawan elite penguasa.
Dalam persidangan tersebut Ia sadar bahwa pada hakikatnya ia tidak sedang berhadapan dengan JPU saja, melainkan dengan elite dari sebuah sistim kekuasaan yang dikendalikan sang penguasa di Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada Senin 27 November 2023.
Berikut isi pledoi atau pembelaan Haris Azhar yang dibacakan langsung olehnya di hadapan persidangan sebagai berikut:
Kami tidak berbeda dengan pendahulu kami yang diadili karena keritis terhadap kekuyasaan, berpihak pada rakyat biasa dan meyuarakan suara-suara yang tidak pernah mau didengarkan oleh para penguasa.
Sejarah Indonesia tidak kurang berisi orang-orang seperti kami, sejarah Indonesia juga tidak kurang memiliki pengadilan seperti pengadilan ini yang mengadili orang-orang yang hanya mau menyuarakan suara berbeda dari penguasa.
Sejarah Indonesia baik pada masa colonial maupun sesudah merdeka, juga tidak kurang memiliki jaksa-jaksa seperti yang mengadili kami yang bertugas mempertahankan penguasa salah atau benar, sehingga mau tidak mau mengingatkan kami kembali kemasa Orde Baru.
Sebagian dari kami hanya mengenal itu lewat cerita, sebagian dari kami mengalami secara langsung. Bagi kami rezim penguasa ini mirip dengan orde baru (Orba).
Selain masih banyak kekerasan terhadap rakyat, membungkam dan melenyapkan aktivis juga membangun manifulasi masyarakat dengan glorifikasi investasi, bantuan sosial, iven-iven internasional dan membangun fasilitas insfrastruktur.
Kami yang berdiri dihadapan pengadilan ini, menjadi sebuah simbol dan contoh bagaimana otoriterisme itu dijalankan.
Kami dituntut lewat pengaduan oleh saudara LUHUT BINSAR PENJAITAN, orang yang paling dipercaya oleh JOKOWI dan dengan menggunakan instrument hukum yang kabur ia berusaha membungkam kami.
Mengapa ia merasa perlu untuk mengkriminalisasi kami, hingga hadir ke pengadilan sebagai saksi pelapor dengan pengamanan yang super ketat, dalam kesaksiannya saudara LUHUT BINSAR PENJAITAN mengatakan dia sakit hati dengan fitnah yang kami lakukan.
Kami sedikitpun tidak percaya pada argument tersebut, jika sakit hati mampu mencebloskan orang ke penjara, maka setiap jengkal tanah di republic ini akan menjadi penjara.
saudara LUHUT BINSAR PENJAITAN adalah seorang pejabat public, ia memiliki kekuasaan yang seujung kukupun kami tidak miliki, ia bisa menggerakan seluruh publik ini hanya dengan satu perkataan yang dia ucapkan. Apalagi dia adalah orang yang paling berpengaruh pada rezim JOKOWI.
Sekali lagi, apa yang dipertontonkan saudara LUHUT BINSAR PENJAITAN adalah sebuah pertunjukan kekuasaan, sekalipun disampaikan sebagai sesuatu yang personal nama baiknya dicemarkan didepan cucunya.
Ia sesungguhnya hendak menyampaikan pernyataan ke publik bahwa ia tidak boleh di keritik. Bahwa kritik terhadap dirinya adalah sebuah tindak kriminal. Bahwa kritik terhadap dirinya harus diganjar dengan hukuman penjara.
Kami sangat percaya bahwa tuntutan saudara LUHUT BINSAR PENJAITAN tidak hanya disampaikan dan dikenakan kepada kami yang disampaikan kepada siapa saja yang berjuang untuk menegakan demokrasi, menjamin kebebasan berbicara dan berpikir dan terlebih kepada siapapun yang berpihak kepada mereka yang kurang beruntung dan merasakan penindasan setiap hari.
Tidak ada yang dapat kami sampaikan kecuali sebuah pernyataan” DEMOKRASI RUNTUH DARI DALAM, DIHIANATI OLEH ORANG-ORANG YANG JUSTERU DIMULIAKAN LEWAT PROSES DEMOKRASI, diangkat ke jabatan yang tinggi dengan segala keistimewaan lewat demokrasi. Ketika demokrasi tidak lagi memenuhi kepentingannya, mereka memilih membunuhnya”.
Bapak-Bapak Mejelis Hakim yang saya muliakan.
Mempidanakan Siniar yang membahas hasil riset, bukanlah cara bermartabat untuk membantah hasil riset.
Riset mengandaikan ketekunan akal sehat, sementara pemidanaan menandaikan kekuasaan dan refresif. Ini dua hal yang tidak seimbang mempidanakan riset bisa berarti ketakmampuan untuk berdialog didalam akal sehat.
Mejelis Hakim yang kami hormati.
Didalam persidangan ini saya memang diadili oleh Bapak-Bapak Hakim, namaun jangan lupa proses peradilan ini diawasi oleh publik, dan mohon maaf anda semua adalah subjek yang diawasi dan di telisiki.
Terlebih ada rentetan peristiwa-peristiwa politik hukum yang merobohkan kepercayaan warga terhadap institusi hukum.
Warga bisa melihat bahwa saya adalah individu dengan pengalaman lebih dari 20 tahun menjalani kerja-kerja Advokasi, berikut segala pengetahuan dan pengalaman dalam bidang hukum. Begitu pula dengan Patia dengan kerja-kerja public.
Jika Majelis Hakim yang mulia menyebloskan saya dan Patia ke penjara. Apa yang akan dipikirkan warga sipil lainnya pada umumnya, yang tak punya pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum seperti kami.
Lebih dari itu, Apakah Nurani Majelis bisa berhadapan dengan konstitusi yang jelas-jelas menjamin kebebasan warga negara seperti kami.
Sebagai individu majelis saya memiliki kebebasan dan saya meyakini demikian pula dengan Majlis Hakim yang ada dihadapan saya.
Namun demikian terlebih dengan jubah mulia yang majelis hakim miliki, mengandung indenpidensi atas nama hukum.
Saya berharap Mejelis Hakim bisa menjadi aktor yang lurus, yang bersih, melihat perbedaan keritik dan hinaan. Melihat konteks Sinier dan riset yang dipresentasikan oleh Pathia.
Saya yakin lanjut Haris Azhar Majelis Hakim bisa menjadi pembebas bukan untuk saya saja, namun pembebas yang berani menghentikan praktek yang tidak seimbang kepada seluruh warga di Indonesia ini.
Saya meyakini bahwa perkara ini bukan perkara tindak pidana, sebagaimana yang akan disampaiakan oleh kuasa hukum saya dan catan saya diatas.
Untuk itu Majelis Hakim yang mulia, yang terhormat, yang dicintai oleh keluarganya, saya memohon untuk dilepas dari dakwaan dan tuntutan terhadap saya dan Patia dalam perkara ini, Jakarta 27 November 2023, terimaksasih, demikian tutup Haris Azhar (Red).