Kejahatan perkebunan, merupakan bunyi pasal 107 dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Pasal ini yang sering dimanfaatkan pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit pada umumnya.
Pasal kejahatan perkebunan tersebut untuk menjerat masyarakat lemah pemilik lahan yang menuntut haknya karena tanah/lahan milik masyarakat tersebut telah digusur, dirampas, dan dikuasai untuk dijadikan kebun kelapa sawit oleh perusahaan tanpa ganti rugi kepada yang berhak.
Perbuatan Perusahaan yang memanfaatkan pasal kejahatan perkebunan ini selalu diterapkan penyidik kepolisian kepada masyarakat pemilik lahan yang kurang mengerti tentang aturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Semestinya bunyi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 pasal 55 huruf (b) ini harus diberlakukan juga oleh penyidik kepolisian kepada perusahaan nakal yang mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/ atau menguasai tanah masyarakat atau Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dengan maksud untuk usaha perkebunan.
Selain itu untuk memperkuat pasal 55 huruf (b) untuk perusahaan mestinya penyidik kepolisian juga jangan mengabaikan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah tanpa izin Pemilik atau Kuasanya yang sah.
Dalam Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tersebut menyebutkan bahwa jika terjadi pemakaian tanah seperti yang dimaksud pasal a qua, maka yang diutamakan adalah dengan jalan musyawarah. Pasal tersebut tidak menjelaskan mengapa sampai terjadi pemakaian tanah perkebunan tanpa izin.
Ada kemungkinan batas antara hak ulayat dengan hak guna usaha (HGU) perkebunan tidak jelas. Ada kemungkinan masyarakat masih berpendapat bahwa mereka mengerjakan atau memakai tanah sesuai dengan hukum adat mereka.
Jaman penjajahanpun tidak sekejam itu menjerat pemilik lahan yang benar-benar sah memiliki legalitas kepemilikan tanah yang seenak perutnya memanfaatkan pasal untuk menjalimi hak masyarakat dengan cara licik, demikian
Penulis Opini: Misnato Paralegal dari LBH Mata Nusantara Kalimantan.